Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai kurang kerjaan, karena melakukan pendataan dan memberikan hak pilih bagi orang tak waras di Pemilu 2019. Suara orang tak waras rawan diselewengkan dan berpotensi menimbulkan kecurangan. Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr Arifin Saleh Siregar, belum lama ini.
Menurutnya, sebaiknya KPU fokus kepada pekerjaan rumah klasik yang dari dulu sampai hari ini belum tuntas. Seperti, rendahnya partisipasi pemilih, minimnya pendataan pemilih, pendataan pemilih pemula dan mensukseskan Pemilu agar berjalan dengan jujur, adil dan bersih. ” Kalau yang dahulu saja belum tuntas, mengapa KPU menambah beban tugas untuk mendata orang tidak waras agar memilih di pemilu nanti, ” sebutnya.
Arifin menilai, sangat repot sekali nantinya tugas penyelenggara Pemilu jika orang tidak waras ikut memilih. “KPU mau memulai pendatanya darimana? Dari rumah sakit jiwa atau panti rehabilitasi. Lalu bagaimana dengan orang tidak waras yang terlantar di jalanan, ” tanyanya.
Lalu, kata Arifin, bagaimana KPU mensosialisasikan Pemilu, sementara mereka kurang waras. Bagaimana KPU menggiring mereka agar mereka mau memilih, bagiamana cara mengawasinya. “Inikan pertanyaan pertanyaan yang akan muncul jika orang yang tidak waras ikut memilih. Dan tidak logis jika proses itu dilakukan tanpa ada kecurangan, ” tambahannya.
Arifin mengatakan, KPU harusnya tidak memaksakan diri untuk melakukan tugas yang tidak dianggap logis tersebut. Sebab jika dibandingkan dengan suara golput, angkanya jauh lebih besar ketimbang jumlah orang yang tidak waras. ” Artinya, lebih bagus KPU menggenjot suara golput itu agar partisipasi meningkat, dan Pemilu lebih sukses. Hal ini lebih logis ketimbang melakukan pendataan untuk orang gila agar memilih,” katanya.
Sebelumnya, KPU RI tengah mendata peserta pemilih yang Memiliki gangguan kejiiwaan dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Komisioner KPU RI Irham Sautra mengatakan, merupakan keputusan Mahkamah Konstitusional (MK) dalam UU Pilkada terkait hak pilih dari pengidap gangguan jiwa, dimana haknya menjadi peserta pemilu wajib dilaksanakan. “Jadi MK mengatakan teman-teman disabilitas mental itu harus diberikan hak memilih Karena selama ini tidak diberikan hak memilih,” ungkap Irham.
Dia menjelaskan, ada kriteria tertentu yang membatasi seseorang tidak berhak memilih. Mereka akan diberi surat yang menyatakan, calon pemilih tersebut tidak dapat memilih karena kadar atau level disabilitas mentalnya tidak memungkinkan untuk memilih. “Dia ‘kan tidak bisa membedakan mana partai mana calon dan sebagainya, ” ujarnya. Saat ini KPU RI sedang mendata Rumah Sakit Jiwa yang memiliki data penyandang disabilitas mental itu. (*)